Rabu, 30 April 2008

Let's me Contemplate

Lately I feel so late. But, I enjoy with everything could happen with me. OyeA, I will tell you something. This talking about my friend. Let me contemplate anymore. Because this is secret. Hhhhhmmm I don't think, I will be betrayer for my friend. Ok, I try to tell you something other, this talking about myself. Since yesterday, I was busy to apply a fellowship which will be given from Ministery og Religion for achievement students. Hea, Let me make sure the first. Am I a achievement student? I don't have one of categories of achienvement student. Hmmm, But I have many certificates which probably will become proof or evidence to show I am a accomplishment student. So, I must take care of this chance. obvious this activity make me busy and I it rush me. Hmmmmm. Administrasion is so difficult. I must make letter, taking dean signature, making new account bank, fulfilling application,etc. I was late. But, I always try to enjoy with everything. Thanks for God, It is done. I feel so cozy.
Sorry guys, If there are mistakes in my structure language in English language. I wrote without arrangement. So, It is so simple
See you later
KEEP DOING THE BEST

Selasa, 29 April 2008

Don't Make Me Scare

Before beginning this writing, I will tell all of you something. I wrote this writing. But, there was a trouble. So, what was written is loss. But its ok.Sometime, I feel scare. I am afraid of myself. I can't beliefe and don't beliefe this could happen to me. I can't enhance my potention and myself because "people" beside me. I am scare to do something, because they will claim me that is wrong. Thats is libel. What am I supposed to do? I wanna fly on the sky. I wanna free without lie, war, force and enequalities. I am sure, I wanna defend myself. I wanna be myself. No ones of you all. Tell me, If I do something, but people beside and behind me will tell me:" Thats is wrong, thats will bear the libel. Whats wrong???
Ok, I expect you all don't be serious. This is only beginning of my story. I will try to tell you about my life, my story and my love.
See U later

Kamis, 24 April 2008

Dia Berhenti Bernyanyi dan Menari diantara Suara

Dia berhenti menyanyi dan menari diantara suara-suara para penari. Laki-laki tersebut binggung apa yang akan ia kerjakan karena kejantanannya telah menghianatinya di depan perempuan yang tidak diragukan lagi kecantikan dan feminimismenya. Terkadang ia menginginkan laki-laki itu, terkadang juga mengejeknya. Anak laki-laki perempuan itu tidak merasa puas dengan pertunjukan malam zahrasyad dan pagar-pagar tamannya mendung, debu pasir pun hancur, dia meniggalkan bayang-bayang keabu-abuan yang berat. Dia menghimpunnya di atas dadanya. Dia menoleh kearah sekitarnya. Badannya kotor dan pakaiannya pun hitam. Dia berteriak memanggil anak-anak dari beberapa kabilah yang terdekat. Angina menerobos membawa pertolongan dari laut ke sungai, dari padang sahara ke daratan tanah yang rata berjalan bersamaan dengan air yang mengalir di sungai, dia mendekati puncak gunung, menyelam di bawah selumbung ombak. Wanita itu berkata: seakan-akan di telinga mereka terdengar mereka tuli, bisu, buta maka sesungguhnya mereka orang-oranng yang tidak faham. Ketika laki-laki itu mengamati mereka, mereka mulai memalingkan minuman-minumannaya lalu mengintip dari balik kaca televisi yang panjang. Mereka berlomba-lomba, dan para wanitanya sibuk dengan persaingan kecantikan, nyanyian, tarian yang memukau. Wanita kota yang murah itu berteriak dan tidak ada seorang pun yang mendengar suaranya. Dia melewati jalan-jalan lama dan para kabilah-kabilah membawakannaya kurma, dan susu.
Dialah, angin terkutuk yang membawakannya warna putih kehitaman, ketika melewati pagar-pagar itu wanita itu menjerit. Dan sesuatu yang hilang darinya. Dia merasa kehilangan segala sesuatu yang indah dan mahal harganya. Pita suaranya terpotong ketika dia merasa kehilangan suaranya yang nyaring.
Jendela-jendala istana tertutup, angina menerobos hingga menjadi gelap, dia menutup pintu-pintu dan jalan-jalan kekuatan di wajah lelaki tersebut. Sepertinya fajar pagi terlambat datang, wanita kota itu pun menangisi sesuatu yang hilang darinya. Ketika dia tidak lagi menemukan seseorang yang menolongnya, dia mengusap air matanya dengan tissu bertahap demi bertahap dia menjadi lebih baik. Dia merasa hina karena hari-hari itu telah menjual kewanitaannya. Dia diam malam penuh dengan kelaparan dan tangisan anak-anak tersesat karena ulah angin dan debu. Dia selalu diam di tempat mana pun hanya ada suara Abu Nawas yang senantiasa menyenandungkan kasidah-kasidahnya. Dia menanam pelapah kurma, gandum dan biji-biji kurma, tiada seorang pun kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menari dengan pakaian yang tipis. Berkobar jiwanya, sebagai seorang laki-laki lepaslah kesombongannya. Dia pun mendatanginya sambil merangkak dan berlutut diantara dua lutut dan tangannya. Mulutnya berbuih penuh dengan aroma yang wangi. Dia berjalan “Kota tanpa pagar”.
Dia merendahkan diri, bergetar tangannya yang telanjang karena malu atas kelemahannya. Wanita itu menerima laki-laki tersebut sembari munculnya fajar, adakah disana fajar? Kota menutup bentengnya, adakah di sana sebuah bentang? Angin itu masih saja semilir…, tidak ada benteng dan tidak ada pula pagar-pagar, jendela-jendela dan para lelaki kebinggungan telah menghampiri wanita itu, dia masuk ke dalam tidurnya, laki-laki itu merasa tolol, bodoh karena ulahnya itu mengharuskan dia untuk berobat kepada seorang dokter saraf.
Wanita : laki-laki itu sudah gila
Laki-laki : wahai wanita, aku tidak gila hanya karena api yang membara.
Dia tersenyum menakutkan, laki-laki itu membuka jendela di atas ratapan tangis sang wanita semenjak awal pertengkarannya. Apa yang telah terjadi membinggungkannya. Air matanya dan darahnya mengalir seperti kerikil-kerikil yang hanyut. Dia sedih sekali, tali kecapinya putus, darah keluar dari jari jemarinya Abu Nawas. Dia membacakan kutipan-kutipan syairnya di sebuah aula yang tertutup pada sebuah mahkamah yang didirikan oleh para penulis ide cerita dan sekretaris mahkamah kerajaan. Hanya Abu Nawas yang tertuduh sebagai peminum khamr pada para pembegal jalan. Hanya Abu Nawas yang berbicara tentang syair yang sebenarnya, bayang-bayang Abu Nawas yang tartil membaca syairnya dengan enggan karena penjaga malam yang larut dalam tong-tong sampah yang menimbulkan bau busuk dari dirinya sendiri. Wanita tersebut ingin memperlihatkan kecantikannya yang menggoda laki-laki, dia menyalakan cahaya. Laki-laki itu cemas, wanita tersebut bertanya pada laki-laki itu apakah kamu takut pada cahaya? Sebelum dia menjawab cepat-cepat ia menutup jendela dan berhenti karena kaget. Kegelapan telah mengaburkan pada pandangan kita”. Laki-laki tersebut binggung entah apa yamg akan di lakukannya di depan wanita itu yang menyerupai….. Cahaya pagi, membentangkan kecantikan wanita itu dengan kedua tangannya? Belum sempat ia melakukannya dia telah terbang ke alam mimpi. Dia merasa gemetar, daging di sekujjur tubuhnya mulai dari ubun-ubun kepalanya sampai kedua telapak kakinya. Laki-laki itu merasakan panas menjalar diantara kedua betisnya. Kertas-kertas berserakan di tanah. Kecantikannya menimbulkan bau busuk yang menyengat, dia membuka lubang-lubang di puncak gunung, ada yang mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu, dia berjalan cepat di jalan raya, terkadang khawatir atau terpaksa, wanita itu tertawa dengan sangat kuat. Ketakutan menjadikannya sunyi dan menimbulkan bau harum semerbak di ruangan. Dia berusaha untuk melepaskannya. Dia mendengar ada sesuatu yang jatuh di tanah, dia menjerit keras karena ketakutan. Jasadnya terlentang di atas satu-satunya lantai yang beku. Dia memandangi sekitarnya, kertas-kertas tersebut masih berserakan, ranjang itu juga tidak beraturan, ruang tidur itu tidak mengetahui wanginya wanita sebelumnya. Gelas-gelas dari kaca kosong dan kemudian pecah. Dia menulis di atas rak-rak lama yang terbuat dari kayu penuh dengan debu.

Senin, 21 April 2008

Lanjutan Grammar

1. Sentence: (Sent)

Def: Rangkaian kata yang bermakna, berpola S. V/ S. P dan diakhiri tand baca pengakhir.
? = Question Mark
! = Exlamation Mark
. = Period / full stop

e.q: They come : Sent
S V
2. Clause

Def: Rangkaian kata bermakna dan berpola S. V / S. P

Macamnya:

a. Main Clause
Independent Clause

e. q: I go
S V




b. Subordinate Clause
Dependent Clause

E. q: Because they will come
Conj S V


She cries = MC / Sent

She cries although Hamid is here
S V Conj S V Adv of place
---------- -------------------------------------
MC SC

MC + SC = Sent

Although Hamid is here, she cries
Conj S V Adv S V

SC + MC = Sent

e.q : Until I arrive = SC
Conj S V

Until tomorrow morning = PP
Prep Adj N
-----------
NP

He takes the book = Sent / MC
S V O


Key:

NP = M + H
PP = Prep + O of Prep (N, Pron, NP)
AP = Adv + Adj
AVP = Adv + Adv
SC = Conj + S + V
Sent = S + V
MC + SC
SC , MC



VERB

Def : Kata yang menggambarkan aktifitas atau kondisi dan keadaan.

Form : 1. Present: a. To invinitive (to inf)
(Pr) W. o : to + Bi
E. q : to wash, to study

b. Bare infinitive (Bi)
W. o : Bi
E. q : Wash, study, wakl

c. Additional infinitive (Ai)
W. o : Bi + (-s / es)
Washes, walks, studies

2. Past : W. o: Bi + (-d / ed)
(Pt)
: E. q: Washed, studied, watched

3. Participle: a. Past Participle: w. o: Bi + (-d / ed)
(PP)
: e. q : washed, studied, watched

b. Present Participle : w. o: Bi + ( -ing )
(Pres. P)
e. q : Washing, studying

Bi To inf Ai Pt PP
Pres. P
Wash To wash Washes Washed Washed Washing

Choose To choose Chooses Chose Chosen Choosing
Have To have Has Had Had Having
Be To be Is / am / are Was / Were Been Being
Do To do Does Did Done Doing
Know To Know Knows Knew Known Knowing

Regular Verb : Kata kerja yang mendapatkan imbuhan “d / ed”, ketika “PT / PP”
Irregular Verb: Kata kerja yang tidak mendapatkan imbuhan “d / ed”, ketika “PT / PP”

I am so sorry!!

I am so sorry, I couldn't add my writing, because I am so busy with my study, my mini theses, and others. But, I will strive to post again everything what can be posted. Ok bro? I need your pray and I always pray for you all.
See you later

Senin, 14 April 2008

Perjuangan Kesetaraan Gender

Perjuangan Kesetaraan Gender
By: Yuldi Hendri
Berbicara permasalahan perempuan, merupakan pembicaraan panjang yang tidak akan habis-habisnya. Perempuan memiliki peranan dan posisi yang penting dalam kehidupan. Bahkan ia merupakan kehidupan itu sendiri. Maka, suatu keniscayaan untuk menghargai, memposisikan dan menempatkan perempuan diatas nilai keadilan dan proporsional dalam segala hal. Karena keadilan terhadap perempuan berarti memposisikannya sebagai manusia utuh, karena Islam adalah agama yang ramah dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang mana ketika itu perempuan sangat tidak dihargai, diperjual belikan, anak perempuan dibunuh, poligami tanpa batasan, bahkan perempuan diwariskan. Kekejaman dan tindakan yang tidak berprikemanusiaan terhadap perempuan merupakan suatu tradisi yang mengakar di Arab ketika itu. Bahkan jika dilihat dari data historis bangsa-bangsa dunia, perempuan telah mengalami ketertindasan yang begitu menyejarah. Islam datang dengan revolusioner dan membawa perubahan-perubahan spektakuler dalam mengangkat harkat derajat wanita. Hal ini tentu, adanya tahapan-tahapan perubahan sosio-kultural yang sudah mendarah daging. Inilah salah satu hikmah dari turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Perubahan tersebut dimulai dari larangan pembunuhan anak perempuan, memberikan bagian bagi perempuan dalam warisan, batasan dalam berpoligami, kesempatan mendapatkan pendidikan dan pengembangan intelektual, bahkan “kemerdekaan“ berperan dalam ranah publik sosial-masyarakat. Hal ini adalah perubahan yang cukup signifikan yang dibawa Islam ketika semangat pariakhi begitu memuncak dan mencapai titik kezhaliman (hal itulah yang mengisyaratkan akan kezhaliman masyarakat jahiliyah yang menindas perempuan, membunuh anak-anak tak berdosa hanya karena ia berjenis kelamin perempuan, disamping berserakannya pemahaman politeisme/ tidak lagi menyembah dengan benar Tuhan yang berhak disembah).
Disaat memasuki dunia kontemporer, gerakan pemberdayaan dan kesetaraan terhadap perempuan semakin bergema. Kata-kata gender, kesetaraan perempuan, pemberdayaan perempuan, feminis, feminisme, emansipasi wanita dan kata-kata yang sejawat dengan kata-kata ini menjadi begitu akrab di telinga masyarakat. Entah karena berkembangnya sarana komunikasi, media masa, perjuangan aktivis gender, kesadaran masyarakat sendiri, dampak dunia kontemporer dan alasan-alasan lainnya yang menyebabkan “gender“ bukan lagi sesuatu yang asing. Banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang gerah dan menentang perjuangan kesetaraan terhadap perempuan ini. Mulailah berbantah-bantahan dalam memperjuangkan pendapatnya masing-masing, bahkan masing-masing pihak truth claim terhadap pendapatnya masing-masing.
Perbedaan pandangan dan pendapat merupakan sesuatu yang lumrah, alami dan manusiawi. Karena ketika seseorang memandang dan melihat sesuatu, maka persepsi, pendekatan dan metode yang ia gunakan akan berbeda, bahkan latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial budaya akan sangat mempengaruhi pandangan seseorang. Sudut pandang yang berbeda, tentu akan melahirkan pandangan yang berbeda. Itu adalah hal yang lumrah. Yang terpenting adalah ketika kita memiliki keyakinan akan pikiran kita hal itu tidak menghalangi kita untuk menghargai atau bahkan menerima pikiran orang lain. Keyakinan itu harus ditempatkan dalam ruang kemanusiaan kita sebagai makhluk yang berbeda dengan Khalik, hamba yang bisa salah, tapi diberi potensi untuk selalu mencari kebenaran lewat akal dan petunjuk wahyu Tuhan, tapi tidak pernah mendapatkan kebenaran absolut, karena itu milik Tuhan, itu yang bikin hidup dinamis tapi tidak nihilis atau bahkan relativis belaka. Maka ada baiknya jika kita melihat perbedaan pandangan di sekitar kita, semua itu menunjukkan mereka semua ada dalam dimensi kemanusiaannya, kita bisa menghargai semuanya sebagai manifestasi dari potensi yang diberi Tuhan. Pada saat yang bersamaan, kita bisa melihat truth claim sebagai pelanggaran terhadap keterbatasan potensi manusia itu sendiri.
Ketika kesetaraan gender menyebar, maka ketika itu kita juga harus mengetahui bahwa perjuangan gender ini berbeda-beda di setiap budaya, sosial, bangsa dan bahkan agama. Aliran-aliran feminis ini sangat berwarna, mulai dari Feminis Liberal, Feminis Radikal, Feminis Marxis, Feminis Psikoanalisis dan Gender, Feminis Ekstensialis, Feminisme Postmodern, Feminisme Multikultural dan Global, Ekofeminisme, bahkan muncul Feminis Muslim dan Feminis Islam. Masing-masing aliran memiliki karakteristik dan kekhasannya masing-masing, bahkan ia berada pada masyarakat dan sosial yang berbeda-beda. Oleh karena itu, ketika kita berbicara permasalahan feminis, maka identifikasinya harus jelas. Karena memang ada perjuangan feminis yang memperjuangkan kemerdekaan perempuan sebebas-bebasnya, yang pada implikasinya hal itu akan sangat bertentangan dengan beberapa wilayah dan masyarakat yang telah memiliki nilai-nilai budaya dan agama. Maka tentunya perjuangan kesetaraan untuk perempuan Indonesia harus berbeda dengan perjuangan kesetaraan gender di Timur Tengah, Barat, India, Pakistan dan seterusnya. Karena Indonsia memiliki budaya, nilai-nilai agama dan sosial masyarakat yang berbeda dengan negara dan bangsa lainnya. Maka konsep perjuangan kesetaraan gender menjadi niscaya harus mencerminkan nilai budaya, sosial dan agama yang ada di Indonesia. Sehingga perjuangan kesetaraan gender di Indonesia harus memberikan sumbangan pemikiran bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan feminisme di Indonesia dan memberikan sudut pandang baru dalam memahami kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan yang sesuai dengan latar belakang sosio-kultural Indonesia.

Marilah Kita Melangkah Bersama

Marilah Kita Melangkah Bersama
By: Yuldi Hendri
Tekstualis, ekstrimisme, ortodoksi, kontekstualis, liberalis, fundamentalis, konservatif, dan berderet kata-kata klaim yang sering kita baca, kita lihat, kita dengar, bahkan tanpa disadari kita sendirilah yang melayangkannya kepada orang lain, tanpa memahami dan mempertimbangkannya terlebih dahulu. Apabila kita memahami dan merenungkan klaim-klaim tersebut, berarti secara tidak langsung kita mengatakan bahwa kitalah yang paling benar dan yang harus dibenarkan. Alangkah bedanya antara kebenaran dan pembenaran.
Yang lebih perlu dipertimbangkan lagi adalah klaim-klaim tersebut selalu tertuju kepada saudara-saudara kita, teman sesama, sahabat seperjuangan, dan partner dalam merengkuh Ridha Allah. Ya, saudara seagama. Inilah yang perlu ditinjau ulang. Yang selalu menjadi objek klaim kita tidak lain dan tidak bukan adalah orang-orang yang berada disamping kita dalam bertauhid, beribadah, sujud, ruku’, puasa, sholat dan menebarkan kebaikan dan perbaikan terhadap umat. Suatu konspirasi yang perlu dikaji ulang dan ditelaah lebih jauh. Adanya pihak luar yang menginginkan runtuhnya pondasi Islam dan kaum muslimin itu sendiri. Perlu dicatat, label-label yang ditempelkan pada pihak-pihak tertentu merupakan hasi pelabelan dan klasifikasi yang dilakukan oleh orang-orang diluar kita “the others”, maka perlu untuk mempertimbangkan ulang pengklasifikasian-pengklasifikasian tersebut, tanpa harus adanya kecurigaan intelektual tapi hanya sekedar kajian ulang dan identifikasi lebih jauh. Memang benar, Allah menjamin akan senantiasa menjaga Agama-Nya, akan tetapi apakah kita bisa menjamin Islam dan kaum muslimin akan selalu eksis dan ada di bangsa yang tercinta ini? Hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan.
Kesibukan umat sekarang ini tidak jauh-jauh dari hal-hal yang sepele dalam keagamaan. Namun, dalam hal duniawi dan materialisme kebanyakan telah mulai tersangkut pada jaring laba-laba yang mengikat. Ya, apakah problem perdebatan dan perbedaan ini ada kaitannya dengan materialisme dan hal-hal keduniawian? Hal ini perlu lagi untuk dikaji ulang, tanpa ada rasa prasangka buruk pada sesama. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah kita sesama muslim harus selalu damai dan mendamaikan. Perhatikanlah dalam ayat-ayat al-Qur’an, bahwa Allah memerintahkan kita untuk mendamaikan saudara kita yang bermusuhan. Dan dalam ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa yang berselisih dan bertempur adalah orang-orang mukmin. Allah tidak menyebutkannya mubtadi’in (ahli bid’ah), munafiqin (orang-orang munafik) atau slogan-slogan lainnya. Al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk tidak memberikan slogan-slogan buruk dan kasar kepada saudara kita sesama muslim. Entahlah, nilai-nilai berlaku sopan dan berkata yang baik begitu banyak dalam al-Qur’an dan hadis, namun aktualisasinya begitu sulit. Dan kadang, kata-kata kotor terhadap saudara-saudara sesama muslimpun dilontarkan lengkap dengan dalil-dalil pembolehan mencap seseorang, sebagai jastifikasi kebenaran sikap dan perbuatannya. Lalu, apakah di dunia ini tidak ada yang salah? Tentu ada, tapi kita hanya menilainya dalam batas kemanusiaan, tidak hitam putih, apalagi sampai rebutan surga dan neraka.
Bersikap bijaksana dan dewasa dalam beragama merupakan sesuatu yang niscaya. Sebagaimana yang terpancar dalam diri Rasulullah suri tauladan yang terbaik (uswatun hasanah). Perlu diperhatikan disini, Allah dalam al-Qur’an menyifatkan tauladan dengan al-hasanah tidak dengan kata-kata thayyibah, atau ma’ruf, bahkan sebagaimana kita ketahui al-Asma’ul Husna juga disandingkan dengan kata-kata al-hasanah. Data ini ingin menunjukkan kepada kita bahwa ketauladanan Rasulullah begitu tinggi, agung dan baik dan baiknya ketauladan itu adalah yang terbaik. Sehingga konsekwensi pragmatisnya kita sebagai umatnya, harus senantiasa mengaktualisasikan nilai-nilai spiritual, akhlak dan kecerdasan intelektual yang ditanamkan dan diajarkan oleh Rasulullah yang akan selalu menyejarah sepanjang zaman hingga yaumil akhir.
Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh Sulaiman at-Taimy, sebagaimana terdapat dalam kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’, IV: 92. Ia menuturkan: “Apabila ada orang yang bertikai denganku, pasti akan kulakukan salah satu dari tiga hal: apabila ia orang yang lebih tinggi derajatnya dariku, aku kenali kedudukannya, apabila lebih rendah dariku, akan aku hilangkan kesan besarku di hadapannya, dan apabila sejajar denganku, aku akan berbuat baik kepadanya (mendahulukannya)”. Ia juga berkata: “Aku bukanlah orang yang santun, tapi orang yang berusaha untuk santun”
Maka, harapan besar saat ini adalah bagaimana kita bisa saling menghargai, bekerjasama, sama-sama bekerja dalam membangun peradaban kemanusiaan yang lebih dari hanya sekedar canggih secara keilmuan dan teknologi, tetapi juga kaya akan nilai-nilai spritualitas dan moralitas. Suatu masyarakat madani yang diidam-idamkan oleh setiap bangsa dan masyarakat dunia. Kita sebagai bangsa yang besar secara materi dan immateri harus mampu menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu mewujudkan cita-cita perdamaian dunia serta keadilan sosial yang bernilai spiritual dan kemanusiaan. Maka setiap pihak diharapkan mampu bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, tanpa harus melakukan manipulasi fungsional. Karena kita harus saling mendukung, menopang, menguatkan dalam membangun dan menciptakan suasana kedamaian dan rahmat bagi alam semesta dengan suasana surgawi. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama melangkah menuju masa depan yang lebih cerah dan berperadaban yang akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang.

Selasa, 08 April 2008

Moralitas; Diantara Harapan Dan Kenyataan

Moralitas; Diantara Harapan Dan Kenyataan
By: Yuldi Hendri
Ketika kita berjalan menelusuri lorong kehidupan yang berbudaya dan bernuansa, mungkin kita hanya bisa terdiam dan bertanya dalam hati,” Inikah etika? Moral? Akhlak? Ataukah ini adalah transformasi budaya yang tak terjaring oleh jala-jala keimanan dan kecerdasan intelektual? Ia begitu saja masuk, menembus ruang-ruang maya dan realita. Tidak ada lagi batas yang membatasi atau tembok yang menghalangi. Akses budaya dan transfer peradaban begitu dekat, sedekat anak dengan orang tua, sedekat sahabat dengan teman karibnya, sedekat jiwa dengan raga. Ya begitulah realitanya.
Moralitas ”bangsa” seakan-akan mulai tipis dan terkikis. Ia begitu rentan dengan derasan hujan dan hembusan angin. Ia begitu saja ke timur, ketika angin beranjak ke timur, ia berlari ke barat ketika angin berhembus ke barat. Ia begitu saja lapuk dan cair hanya karena rintikan dan derasan hujan. Apakah permasalahannya? Apakah ia terlalu lemah sehingga perlu dikuatkan? Ataukah ia terlalu kecil sehingga butuh pendewasaan? Ataukah ia terlalu labil sehingga perlu diarahkan?Ataukah ia tidak menyadari dirinya bisa terbang dan tinggi sehingga ia perlu disadarkan? Ataukah?...Ataukah?.....Ataukah? Terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab, tidak hanya menjawab pertanyaan, Namun yang terpenting adalah menjawab persoalan dan memberikan solusi permasalahan. Teringat akan hadits Nabi : اذا لم تستح فاصنع ماشئت : Apabila engkau tidak mempunyai rasa malu maka berbuatlah sekehendakmu. (HR. Al-Bukhari, lihat Arba’in An-Nawawi: 20). Ataukah rasa malu yang telah terkikis bahkan habis? Semoga saja tidak....
Begitulah realita yang ada.....Lihatlah, betapa kejahatan politik begitu merebak dikalangan elit politik, betapa para pedagang banyak yang menipu di pasar-pasar, para konglomerat semakin memeras orang-orang yang melarat, betapa banyak pengeksploitasi tubuh dan nafsu yang notabene adalah kejahatan kemanusiaan, perkosaan, kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan begitu marak, pemujaan terhadap harta, nafsu dan jabatan menjadi kabut yang benar-benar gelap menaungi, perbuatan maksiat meraja lela, kemalasan menjangkiti, virus-virus kapitalisme dan materialistik telah tersebar, cinta dunia mendominasi, semangat juang kendor, perpecahan merebak dan memanas, keangkuhan bertambah parah, dosa dibanggakan, anak tidak dididik dengan benar, para da’i banyak tetapi perhatikanlah mereka, sungguh memilukan. Semoga kita semua terjaga dari semua ini...Amin
Moralitas yang diharapkan menjadi idealitas beragama dan bermasyarakat, tidak lagi sesuai dengan teori dan harapan. Ia hanya menjadi lembaran sejarah yang dilupakan, ia dibiarkan berdebu di dalam lembaran-lembaran, walaupun kadang ia dibaca dan dipelajari namun hanya sebatas teori untuk sebuah jawaban. Ia kadangkala dihapal dan diteriakkan, namun kadang begitu saja dilupakan dan tidak direalisasikan. Alangkah miris dan perih ketika berkaca diri, bercermin diri. Karena sesungguhnya realitas yang ada menggambarkan diri kita sendiri. Moralitas yang menjadi harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Maka, mulai saat ini jadilah harapan, jangan hanya berharap. Jadilah cahaya ditempat yang gelap, jadilah garam namun jangan didasar lautan. Jadilah jawaban, ya jadilah jawaban-jawaban atas setiap permasalahan.
Walau bagaimanapun, disetiap sudut negeri ini, ada jiwa-jiwa yang resah, dan berpacu untuk memperbaiki realita ini. Mereka berjuang dalam memperbaiki bangsa, memperbaiki moralitas bangsa. Mereka memulainya dengan perbaikan diri sendiri dan berusaha menyajak dan mensosialisasikan kebaikan dan perbaikan kepada orang lain dengan usaha maksimalnya. Karena jika pribadi-pribadi itu tumbuh menjadi permata, maka permata itu akan tetap menjadi permata walaupun dilemparkan ke dalam lumpur atau ke dalam kotoran sama sekali. Ia akan tetap menjadi permata yang indah, berharga dan istimewa.

Minggu, 06 April 2008

Women and Polygamy in Indonesian Legislation Encountering the Culture, Religion and State in the discourse of Women’s issues

Women and Polygamy in Indonesian Legislation
Encountering the Culture, Religion and State in the discourse of Women’s issues
By: Inayah Rohmaniyah. MA. M.Hum

1. Introduction
Indonesia is the home to the world’s largest Muslim population. There are five religions officially recognized in Indonesia, namely Islam, Roman Catholicism, Protestantism, Hinduism and Buddhism. 87% of more than 228 millions of its population are Muslims but its government has never in the hands of leaders, though there were Muslims, determined to identify the state with Islam. Yet, the state ideology of Pancasila (five principles) represents a vision of a pluralist state which assumes that no particular religion is endowed with special privileges.
Beyond the state ideology of Pancasila, Islam and Javanese culture have a significant influence on the construction of socio-political life of Indonesian society. Indonesian legislations can best illustrate the observable relation between the religious belief, the culture, and the power of state. In this paper, I will primarily highlight Indonesian legislation with regard to women’s issues, especially polygamy.
Polygamy has become one of the most striking issues in the history of all religions and religious traditions, including Islam. In the myths of Hinduism, Krishna and other Gods had hundreds of wives. There was, even, no limitation of the number of women who were allowed to be married. Judaism in the period of the rise of Christianity also permitted polygamy, Concubinage, unrestricted divorce for men and, even, did not allow women to inherit or to play a role in religion . Polygamy was also permitted in the Tribal traditions. Ironically, women themselves often did not resist the polygamy, as they considered it natural or God given .
The conspicuous resistance against Polygamy emerged in the Modern era, especially the in 20th centuries. Industrial revolution has remarkably roused women’s awareness of their human rights and encouraged them to demand their equal status before men. On one hand, women from all different levels and status have to work and go beyond the boundary of their households. On the other hand, their access to education brought about the possibility to compete in the various kinds of work places. Their awareness to reject women’s subordinate position and all forms of violence against women, including polygamy, unavoidably increased.
In the discourse of Islam, polygamy has become one of the most controversial issues. The majority of traditional ulama, including classical Qur’anic interpreters, accepted polygamy as a religious norm. Nonetheless, Most Islamic modern thinkers declared that the ideal objective of marital institution in Islam is monogamy.
In the context of Indonesia, the debate over polygamy reemerged dramatically in these present years. On one hand, the role of women and gender issues has become one of the most crucial issues during the last two decades. The patriarchal dominated culture in the society has encountered fundamental critics in the light of the rise of women’s education in Indonesia. On the other hand, the current incredible issue of “Polygamy Award”, which is given by one of prosperous Indonesian men to those who are deemed successful in practicing polygamy, invites some radical different reactions. For those who are in favor of polygamy, this situation is considered a better future for society, especially men. Yet for those who are against it, this is an awful action against women’s rights, as its victims.
Officially, the Ministry of Religious Affairs recently launched a legal draft amendment to the 1991 body of Islamic law, which was compiled by a team which consisted of those who have a moderate understanding of Islam and led by a woman Muslim gender expert, Siti Musdah Mulia . However the draft, which prohibits polygamy, allows interfaith marriages, and promotes gender equality, immediately invited resistance from the majority of Muslims, especially the traditionalist and radical ones. Strong criticism from mainstream Islamic law experts come up against the reforms, claiming the draft deviate from the principles of Islam, and, lastly, the draft was totally rejected to be amended.
Considering this crucial tension in the society, it is exceedingly interesting to review how the Indonesian Government regulates Polygamy and to what extent the legislation pays attention to women’s rights and needs. This paper will disclose the tension between the Islamic beliefs, the culture and the state to show the background of the establishment of Indonesian Government legislation on Polygamy. Then, it will focus on and criticize the government’s legislations on Polygamy.

2. Islam, Javanese Culture and Women
2.1. Islam and The role of religious Leaders in Indonesia
The country of Indonesia is known for ethnic, linguistic, cultural, and religious diversity. It is also the fourth most populous nation in the world. Although Indonesia officially recognizes five major religions, Islam is the majority religion and, hence, has a considerable influence in shaping socio-political life and the democratization process.
Islam in Indonesia is never totally a single picture. The Most Indonesian Muslims follow Syafi’i School and are belong to Sunni Muslims. Yet, beyond the Islamic teachings, the predominant religion before the arrival of Islam, Hinduism, has considerable influence on shaping the Indonesian Javanese Muslims’ religious beliefs. It was obvious that the first Islamic kingdoms adopted the hierarchical tradition and patriarchal system of the kingdoms of Hinduism and Buddhism. Following Curzman’s theory, most Javanese are belongs to customary Islam, which is characterized by the combination of traditional local practices and those that are shared through the Islamic world. Islamization has consisted of an effort to adapt the universal, in theory standardized and essentially unchangeable, and unusually well integrated system of rituals and beliefs to the realities of local, even individual, moral and metaphysical perception.
In the early twentieth century a wave of Islamic modernism, which originated from Cairo, came and contributed to shape a new modern approach to Islam. These waves developed a new Islamic discourse, which latter led to the establishment of such modernist Muslim organizations as Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1913) and Persis (1920s). However, the resurgence of Islam in Indonesia during the first half of the 1980s invited the tensions between Muslims group and the government.
As the country democratizes, religious freedom and other modern global issues, including women and gender issues, have become important political and social issues. Religious leaders, who are mostly dominated by men and are also typically regarded as community leaders, have tremendous influence in shaping Indonesian socio-political life.
Since the beginning of the Indonesian Republic in 1945, religious leaders have contributed significantly to the development of the national political system, state law, and societal norms. For the first two-thirds of the Soeharto administration (1967-1988) the government sought to limit the influence of religious leaders. The role of Islam in Indonesian politics increased dramatically in the last years of the Soeharto regime. Since the fall of Soeharto in 1998, religious leaders have been very active in Indonesian politics. Abdurahman Wahid, a prominent charismatic leader of Nahdlathul Ulama (NU, Council of Ulama), the largest Indonesian Muslim organization, was elected as the fourth president of Indonesia (1998-2000). Hamzah Haz, the leader of a very important Islamic party, was chosen as vice president during the Megawati administration, and Amin Rais, former leader of the second largest Islamic organization, Muhammadiyah, was the speaker of the house (MPR). The newly elected Indonesian MPR Speaker is Hidayat Nur Wahid, former chairman of PKS (Prosperous Justice Party) which struggles for the establishment of Syari’ah (Islamic laws) because it would benefit citizens and reform the government. Many of the top positions in the three branches of Indonesian government are now filled with religious and Islamic party leaders and this is also true at the provincial and local levels.
The religious leaders will continue to shape the development of Indonesian democracy. Although, according to some scholars, democratization requires secularization, the religious leaders’ political influence has created a modern society that has been successful in accommodating religious and secular views within the political system. The successful Indonesian parliamentary election in April 2004 and the first direct presidential election in November 2004 proved that democracy can grow and develop in a Muslim country. This also showed that democratic values do not necessarily contradict Islamic values, making Indonesia a potential model for democratization efforts in other Islamic countries. As a matter of fact, a joint conference sponsored by the US-Indonesia Society and the Asia Foundation (February 7, 2002, Washington, D.C.), concluded that “democratization will not proceed in Indonesia until it is actively supported by the Islamic community and until the values of democracy are explicitly articulated as compatible with Islamic doctrine.”
2.2. Javanese Culture and Its Representative of Indonesia
In the period of Indonesian awakening, a serious tension between Javanese culture and Sumateran, who were mainly religious-oriented nationalist, emerged in the political constellation. This tension was mainly resulted from the willing of Javanese group to expand their culture over the Island, since the center location of confrontation against the colonial restraint was in Java. The idea appeared in the line of this spirit of independence, in the formation of Indonesian republic.
The Javanese culture was represented by Sukarno while the Sumateran was led by Muhammad Yamin. Tension emerged over whether the state would be formed on the basis of Malay values or more secular one. The first position was supported by the first group representing the Muslim Javanese community, while the more secular form should be a plan proposed by the second group. The first option recognized the fact that majority of the population was Muslim. Whereas, the second one more emphasis on accommodating the wide variety of heterogeneous beliefs existing in Indonesia. Ultimately the appointment of Sukarno as the first President marked the victory of Javanese nationalists and led to the establishment of Javanese symbols at the national level.
This tension primarily affected the idiom used to identify women. Prior to and immediately after Indonesian independence, Indonesian women were called perempuan, a Malay word for women. It has a certain meaning of nurturing and the source of wisdom of women as a mother for her children, to the land and eventually to the country.
In the period of Sukarno until the coming of Suharto’s new order, the idiom was changed to wanita (lady). Wanita commonly used to describe mature women. In the past, the expression was the abbreviation of wani ditata (being ready to be managed or be controlled). Perempuan emphasized more on the motherhood role of women, whereas wanita focused more on their being wives. As far as women’s roles in Javanese culture are concerned, certain complex elements, mainly social stratification and social relation should be taken into account. Like many other culture in Indonesia, with the exception of Minangkabau which remain matrilineal, Javanese culture is stratified hierarchically.
The role of women since the Dutch period was determined by the outlooks of priyayi or kawula. The division of labor between man and women on the basis of patriarchal power relations was apparent mainly in priyayi circle. As in other male dominated societies, in Java men are considered as the “patriarch” while women fall under their authority. Women were taught the dictum stated “Swargo nunut neraka katut (wives follow her husband to heaven or to hell). It means that women, as wives, should submit to and obey the husband throughout their life. Such a submissive teaching was influenced by the myth reflected Mahabharata and Ramayana (Hindus Epics long before the arrival of Islam).
In addition, the introduction of western economy during the Dutch colonial era had changed a subsistence economy to a cash economy, which resulted in dramatic changes in social structures, attitudes and values. The subsistence economy, which was based on the home industry, gave men and women equal access to the production. Yet, the cash economy, which relied on global market and state bureaucracy, had made more accessible to men since they have been able to move about more freely, but kept the women close to the household along with their traditional tasks. In the cash economic context men had more control on the production and it strengthened men’s superiority over women in local culture.
Conversely, in kawula’s (lower class) life, the division and the power relation are more flexible. In fact, the power relation on a gender basis among batik (cloth printing) and silver working home industries in Surakarta and Yogyakarta are seen to be on more equal level. It seems that the degree of hierarchical division of production and reproduction is less than it is among the priyayi since the two entities are situated in the same place (at home). In some cases, women play a more significant role in batik production as well in its marketing.
The situation can also be found in rural agricultural societies in Indonesia. Indeed, the division of labor here is less hierarchical than it is complementary. In the past before the green revolution brought about by Indonesian government policy in the 70s, men and women had particular tasks in the fields. Men were plowing the field and women were harvesting the crops and selling the product in the market. Neither were household affairs nor child rearing exclusively women’s duties. It was common to see men looking after the children while their mother were away working in the fields or selling the product in the markets.
In the modern era, the priyayi way of life is seen to be a standard of manners and attitudes. As a result, the ideas of modernization and democratization fostered through modern education system have failed to abate the priyayi bias in modern Indonesian society. Even though people may reluctant to explicitly use the expression of swargo nunut neraka katut the concept of male superiority still exist latently in the society, including in the state regulation.
As modernization has expanded throughout the country, the priyayi lifestyle has been increasingly internalized among the kawula by means of education, mass media and to some extent the Indonesian policies in reference to family life. The modernization which is originally expected to emancipate the local culture, does not really take place in Indonesian context. Rather the modern Indonesian state, somehow reflects the reincarnation of the old Javanese kingdom, if not physically, at least, in terms of the power relation by which the state was organized.
2.3. Women in the Government Legislation
Indonesia adheres constitutionally to the principle of human rights, democracy and social justice. Article 27 of the Constitution of 1945 (the supreme law of the land) indicates that the mandatory of the Government of Indonesia is to provide equal access for both men and women to economic, social, political and cultural resources.
Dealing with women’s issues, since 1952 Indonesian has ratified the Convention on the Political Right on Women and Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). There ware some other legislations, related to the issue of equality between men and women in term of opportunity to get education and job, that have been promulgated in support of the Constitution of 1945 and of the mentioned International Conventions. For example, as civil servants, women deserved an equal payment to that of men for the same position and type of job. Further, there is legally no written distinction between the two sexes in term of requirements of recruitment or occupying a certain official position. Women are also eligible for a full payment during the official leave of pregnancy or miscarriage.
Parallel with the effort promoted by the International world to improve women status In 1970s, Indonesia has begun to integrate women in the process of national development. This strategy, namely Women and Development (WAD), was conducted under the assumption that women’s problems have their roots in “women’s qualities”. Accordingly, the orientation of women’s participation in the National objectivities was mainly emphasized on their roles in the family or domestic sphere. The duties of a woman are described in detail in Garis-Garis Besar Haluan Negara (General Guidance of the State) 1978 as follow:
1. A loyal backup and supporter of her husband
2. Reproducer and educator of the future generation
3. Caretaker of the household
4. Secondary economic provider for the family
5. A member of Indonesian society
In order to enhance and implement these roles, women are organized in such organizations as PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga or Family Welfare Movement). Organizationally, this organization is managed under the control of men as its policy makers.
Indonesian government has re-ratified the CEDAW in 1984. However, its implementations encountered series sociological and political obstacles. Politically, the government policies on women issues invite the possibility of violation, or at least, were not really in the light of the spirit of the Convention. One of obvious examples is the pronouncement of the duty of husband as the head of the family and of wife to manage household. This law unavoidably has a wide impact on women’s life and status and most importantly on the various policies with regard to the separation of public and domestic domain.
The WAD strategy invited fundamental critics because it strengthened the men domination and hegemony in the daily life and the women subordination and dependency.
Following GBHN 1978, GBHN 1999 fundamentally has outlined that the improvement of the status and the role of women in the society through the implementation of various policies that promote gender equality was the appropriate strategy for women empowerment project. In this context, national Policy should be devoted to optimally endorse the quality, role and dependency of women’s organizations in the attempt to empower women and create family and society welfare.
The policy brought about the concept of Women in Development (WID) and constitutionally was defined in the concept of “kemitrasejajaran (equal partnership)” between men and women. This concept has been legally strengthened through Pembangunan Jangka Panjang Tahap I and II Tap MPR (The first and second phase of Long Term Development Plan of Tap MPR) number 11/MPR/ 1998 on the article 9, 13, and 32. However, in the end of the sentence of regulation there was a clear statement that “the equal partnership between men and women should be in the light of respecting to the nature, dignity and social position of women”. This particular statement implicitly implied the inferiority of women before men, since there are some differences between these two sexes in term of their nature, dignity and social position . In other words, if men and women are naturally equal, in a sense that they need and depend to each other, the sentence needs no specific exclusion. In fact, the nature, dignity and social position of women are a product of social construction. They are primarily related to the domestic role of a woman as a wife, housewife and mother.
Thus, the equality of men and women has been legally recognized. However, in the practical level the equality is still far from being comprehensively implemented. Further, the fact indicates that various government policies and regulations still justify gender stereotype, gender norm, gender role and gender division of labor.

3. Polygamy in Indonesian Legislation
The Indonesian legal system is primarily based on Roman-Dutch law (colonial legal system) modified by custom and Islamic law. The basis of marriage is institutionally considered monogamy, but Marriage Law does not prohibit polygamy for those religions that allow it (Islam, Hinduism, Buddhism). Polygamy is permitted with consent of existing wife or wives and judicial permission, by fulfilling conditions specified by law.
Polygamy has become a contentious issue before and prior to the promulgation of the Marriage Law of 1974. The debate reached its peak when the proposal of marriage law was submitted to the government. Under the promulgation of the marriage law the basis of marriage has been considered monogamy. However, the law does ban polygamy for those religions that allow it. Polygamy is permitted under certain circumstances.
The debate over the issue of polygamy reemerged publicly in 2000 following the announcement from the former minister of Women’s Affairs, Khofifah Indar Parawansa. She affirmed that the legislation number 10, 1983 about the permission of Marriage and Divorce for Civil servant (PP.10 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil), that embraces the prohibition of polygamy for civil servants, should be eliminated.
In the regulation 1 year 1974, which are dealing with marriage, chapter 1 and 2, it is mentioned:
“(1) A man basically can only have one wife in his marriage. A woman can only have one husband.
(2) The court can issue the permit to the husband to marry more than one woman while it is wanted by each other”.

The article 3 point 2 of chapter one of the principles of married states:
“The court can issue a permit to the husband to marry more than one woman when it is wanted by each other”.
Additionally in the Article 4 point 2, it states:
“The court can only issue a permit to the husband to marry more than one woman in the following cases:
1. The wife enables to fulfill her duties as a wife.
2. The wife suffers from the physical malfunctions or any chronic disease
3. The wife can not procreate.”
Indeed, in chapter 4 it is mentioned:
“The husband must have a permission from the court located in which he lives, and the court will permit him if 1) the wife can not fulfill her duties as a wife, 2) the wife suffers from the physical malfunctions or any incurable illness, and 3) the wife can not procreate”.

Other requirement in order to practice polygamy is regulated in chapter 5:
a) Permission from wife or wives
b) Guarantee the ability of husband to provide the material needs of his wives and children
c) Guarantee from the husband to treat the wives and children in just.

For the civil servants in particular, the above regulation is strengthened and applied under the Indonesian Government Regulation No.10 1983 on the permission of marriage and divorce for civil servant. Polygamy in this regulation is mentioned in the article 10 as follows:
1. The office can issue the permission to marry more than one wife with the availability of at least one of the alternative requirements (syarat alternatif) and the three cumulative requirements (tiga syarat komulatif) as articulated in the article 2 and 3 of this regulation.
2. The alternative requirements as mentioned in the article 1 are:
a. The wife cannot fulfill her duties as a wife.
b. The wife suffers from physical malfunctions or any chronic disease.

According to Parawansa the regulation on polygamy is primarily overstate in the sense that it hesitates the men’s abilities to control themselves. The removal of this regulation intends to return the men’s right to practice polygamy which is principally permitted under the religion of Islam. Different from Parawansa, the wife of the former Presiden Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriah, argued that the establishment of the regulation aims to protect and guarantee women’s rights.
Furthermore, Suryakusuma, a sociologist, declared her contradictory perspective. Based on her research on this regulation, she arrived at conclusion that the regulation has become a means for new order regime (Soeharto’s regime) to institutionalize women’s oppression and to promote the manipulation as norm of life. Further, she asserted that the regulation is full of contradiction and inconsistency and gives no benefit to both men and women. The negative effect of this regulation appeared in the increasing number of illegitimate prostitution and domestic violence caused primarily by husband’s affairs or illegal marriage. According to Suryakusuma, the primary goal of the regulation has been far for being successful. Rather, it even became a barrier for legal marriage as regulated in the marriage regulation and Islamic law.
Why the debate over the regulation of polygamy arrived at very different conclusion and recommendation, even among the women themselves, is a very interesting problem. I will argue that the influence of religion and culture in the context of Indonesia is exceedingly significance in shaping society’s way of thinking, including the way of seeing polygamy.
In the case of polygamy, the regulation has been obviously influenced by an Islamic perspective and illustrates the traditionalist interpretation on religious norms. The requirements for doing polygamy illustrate one of widely known fundamentalist thinkers’ thoughts, Sayyid Qutb. Qutb alleges that polygamy is allowed as there are two significant natural reasons. First is the number of Moslem women which is more than that of men who enable to marry them. Second is the fact that men’s sexuality stand longer than women. Based particularly on these reasons, men are allowed to remarry another woman, once their wives are getting sick or old enough to have sexual relation . In case the wife is incapable to procreate and the husband still has his natural desire, there are only two ways he can prefer. He can either to divorce the wife in order to replace her position with another younger one who is able to meet man's desire to have children, or to re-marry while the first wife remains with him.
In his commentary, Qutb mentions that one hardly ever finds an unproductive woman having any more desire to remarry. Yet, the infertile wife is more secure and relaxed with the little children. She can do many activities and joy for herself, no matter how miserable she is in her own deprivation.
Qutb’s perspective on polygamy is clearly illustrated in Indonesian legislation. Further, apart from the written legislation, the most common reason raised to legitimate the practice of polygamy is statistic assumption. People in Indonesia generally believe that the number of women is more than that of men. Some researches have shown that in fact the surplus number of women consists of unproductive elderly ones. There are more women with age over 60 years old. Logically speaking if polygamy is justified in order to help women, it must be done with those of elderly women groups.
It is true that Indonesian legal policy has also issued the procedure on polygamy, but there is no single regulation which enables to guarantee both material and immaterial justice for the wives and the children. On the point 1 of article 5 of Marriage law 1974 it is notified that among the requirements of the permission of polygamy that will guarantee the condition of justice are:
a. Written agreement from the wives
b. Formal guarantees from the husband that he is able to fulfill the material and physiological need of his wives and children.
c. Justice among the wives and the children should be guaranteed

However, the agreement from the wives in the case of polygamy is not a compulsory, as it is stated that:
“The agreement mentioned in the point a of the above point (point 1) is not required in the case of the impossibility of the wives to give their agreement; or if the wives is not eligible to take a part in the agreement; or in the case of the absence of the wives for two years; or the presence of other reasons that are needed to be considered by the court.”

In other word, the above point implies a tendency that the regulation concerning polygamy does not explicitly guarantee the involvement of the wives in the process of giving their agreement to their husband. Nor the regulation provides any instrument that guarantees the implementation of spiritual and material justice for the wives.
In the reality, Rifka Annisa Women Center recorded that numbers of violence cases caused by polygamy in the year of 2000 were legally untouchable. Such violence appeared in many forms, from the absence of economic fulfillment for the wives and children to the practice of illegal and hidden polygamy which mostly take religion as its legal justification. Unfortunately, among that violence, illegal polygamy seemed to be the most frequently case. According to Rifka Annisa’s 2000 data, 62 % from the reported polygamy cases only 38 % are legal, while the rest is illegal.
Furthernore, 58 of polygamy cases handled by LBH-APIK during 2001 to July 2003 showed various kinds of violence against wives and children , including psychological oppression, physical violence, intimidation, terror and sexual negligent. Further, many polygamous are done without clear reasons. In fact, women who encountered such polygamy violence are highly vulnerable to meet economical injustice. Their fragile position in turn led to dependency, subordination and marginalization in various sectors of life.
A single perspective in interpreting the Islamic norms on polygamy ideally has to reflect the condition of Justice, as one of Islamic fundamental values. However, polygamy hardly ever brings about the ideal condition of marriage; moreover, women under polygamous practices face various injustice problems. The image of being a woman in Javanese culture is interlined with and strengthened by traditional religious beliefs. The acknowledgment of men as the head of families, as well as the one who has an authorization to decide to do polygamy, is a glimpse example of male dominated cultural representation in the legislation of Indonesia.


4. Conclusion
The debate over polygamy and its legislation in Indonesia was firmly linked to the fact that religious interpretation and cultural construction have been legitimized as social norms in which their implementation is strengthened and intervened by state power. On top of that, the religious leaders of Islam as the majority religion have tremendous influence in the making process of Government policies. The better legislation for women in polygamy and other issues will be achieved when there is a chance to review the Law by those who are tolerant and understand the needs and the situation of the Indonesian people, especially women.

Jumat, 04 April 2008

Oksidentalisme

Oksidentalisme
By: Yuldi Hendri
Sebagian Muslim pun masih enggan mempelajari sejarah dan tradisi Barat. Tradisi oksidentalisme (ilmu tentang Barat) belum mendapat tempat di dunia Timur. Padahal, oksidentalisme bakal membantu terjalinnya hubungan Barat dan Timur secara akademik dan kultural. Hal itu juga akan mengembangkan tradisi dialog (bukan monolog) antar peradaban. Dunia Timur akan belajar sejarah Barat sebagai sebuah peradaban.
Kendala lain adalah anggapan bahwa demokrasi dan civil society berasal dari Barat. Oleh masyarakat yang cenderung memolitisasi agama dan fundamentalistik anti-Barat, demokrasi dan civil society dianggap sebagai solutions imported from the West (al-hulul al-mustawradah) dan karena itu harus ditolak. Padahal, nilai-nilai persamaan dan partisipasi yang menjadi inti demokrasi dan civil society juga terdapat dalam Islam.
Proyek intelektual Hassan Hanafi adalah suatu upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi lama, penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.

Menurut Marshall McLuhan, kebudayaan merupakan suatu bentuk "perluasan manusia" (the extension of man) dalam rangka mengatasi keterbatasan ruang-waktu yang melingkupinya. Dalam pengertian yang kurang lebih masih bersifat paralel, dengan meminjam pemikiran Gramsci, kebudayaan pada tahapan yang lebih jauh adalah juga suatu bentuk hegemoni dari suatu kelompok kepada kelompok lainnya.

Hal yang demikian ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan memang sudah menjadi suatu aspek dinamis dari kebudayaan. Persoalannya adalah bahwa hegemoni kebudayaan itu berlanjut pada pembentukan citra-citra kebudayaan yang dijelaskan secara berbeda: ada kebudayaan superior dan ada kebudayaan inferior. Lebih parah lagi, ketika kebudayaan superior lalu merasa berhak untuk memperadabkan kelompok kebudayaan inferior. Asumsi inilah yang menjadi landasan pembenaran bagi dilakukannya kolonialisme dan imperialisme.

Dalam bentuknya yang lebih canggih, kolonialisme dan imperialisme kontemporer adalah kesadaran untuk membentuk, menundukkan, mendisiplinkan, dan menggiring nalar dan alam bawah sadar suatu masyarakat. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan media. Masih menurut McLuhan, the medium is the message, media itu sendiri membentuk pesan dan citra kultural tertentu. Perkembangan teknologi, terutama teknologi multimedia, jelas sangat menguntungkan bagi upaya-upaya kolonisasi kesadaran ini.

Model-model seperti ini kemudian membentuk suatu monolog kebudayaan superior yang diperdengarkan kepada masyarakat kebudayaan inferior. Tentang oposisi-biner antara rasio dan kegilaan misalnya, Michel Foucault (1926-1984) dalam Madness and Civilization mengatakan bahwa selama ini bahasa psikiatri yang mengungkapkan tentang kegilaan hanyalah semacam monolog rasio tentang kegilaan yang berada dalam suatu ruang yang sunyi. Apa yang dilakukan Foucault dalam bukunya itu adalah suatu upaya untuk mengakhiri monolog rasio tentang kegilaan, yang dilakukannya dengan mengurai arkeologi keheningan itu dari perspektif historis.

Seperti juga Foucault, Hassan Hanafi dalam buku ini juga berada dalam kerangka pemikiran untuk mengakhiri monolog kesunyian suatu kebudayaan yang dianggap superior, yakni kebudayaan Barat. Selama ini, citra kebudayaan Barat sedemikian superior, berhadapan dengan kebudayaan Timur yang dianggap inferior. Citra superioritas Barat ini kemudian dituangkan dalam wacana orientalisme yang menjadikan kebudayaan Timur sebagai obyek kajian. Inilah awal monolog kebudayaan Barat tentang kebudayaan Timur.

Sebagai sebuah wacana yang bersifat ilmiah, orientalisme sudah memiliki akar historis yang cukup panjang. Bersamaan dengan gelombang kolonialisme Eropa ke wilayah Timur pada abad ke-17, dilakukan pula sejumlah aktivitas "ilmiah" berupa studi kebudayaan Timur. Kebudayaan Timur dianggap sebagai the other -seperti juga kegilaan berhadapan dengan rasio- sehingga sah-sah saja bila kebudayaan Timur itu dijadikan obyek kajian.

Selanjutnya, orientalisme menjadikan Barat sebagai sentral kebudayaan. Tentu saja, yang namanya pusat tentu cenderung menggilas yang berada di wilayah pinggiran. Demikianlah, identitas kultural masyarakat Timur lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung.

Karena itu, dengan usahanya untuk mulai membangun suatu wacana baru yang disebutnya oksidentalisme, yakni studi tentang ke-Barat-an, Hassan Hanafi sebenarnya menginginkan adanya suatu perimbangan diskursif dalam kajian-kajian kebudayaan. Hassan Hanafi menginginkan agar identitas kultural masyarakat Timur tidak tergilas begitu saja tanpa berarti harus mengisolasi diri dari interaksi masyarakat kosmopolitan.

Agenda wacana oksidentalisme ini dalam pengertian yang lain oleh Hassan Hanafi dimaksudkan untuk mempertegas posisi ego (kebudayaan masyarakat Timur, Islam) di hadapan the other (kebudayaan masyarakat Barat). Dalam terang keutuhan seluruh proyek intelektual Hassan Hanafi, wacana oksidentalisme ini berada dalam tahapan kedua, yang kesemuanya berada dalam konteks upaya menghidupkan kembali semangat agama. Proyek intelektual Hassan Hanafi adalah suatu upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi lama, penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.

Hassan Hanafi menegaskan bahwa oksidentalisme ini tidak berada dalam tataran politis, melainkan berada dalam tataran analisa ilmiah. Sepertinya, Hassan Hanafi tidak menginginkan wacana oksidentalisme ini menjadi suatu bentuk sikap reaksioner terhadap hegemoni kebudayaan Barat. Bila yang terjadi adalah demikian, maka wacana oksidentalisme berada dalam medan dominasi-represif yang secara substantif tidak bersifat produktif. Dalam konteks ini, oksidentalisme harus pula dimaknai sebagai awal dimulainya masa-masa kreasi inovatif kelompok kebudayaan Timur untuk menemukan rumusan teoritik yang bersifat mandiri untuk memahami realitas.

Langkah-langkah awal Hassan Hanafi untuk mencoba membuka wacana oksidentalisme ini dilakukannya secara cukup serius dan menarik. Melalui pendekatan historis, Hassan Hanafi mengurai satu-persatu perkembangan sejarah Filsafat Barat yang menjadi ruh kesadaran kebudayaan Eropa (Barat). Seperti yang juga dilakukan Foucault dalam menelusuri sejarah kegilaan (atau juga sejarah penjara dan sejarah seksualitas), Hassan Hanafi mengangkap wacana-wacana yang tertindas (atau ditindas) dan disingkarkan dari ladang sejarah kebudayaan Barat.

Pada awal pertumbuhan kesadaran Eropa yang dalam ungkapan Hassan Hanafi merupakan sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi berhasil membuka lebar tabir-tabir historis yang mendukung bagi terbentuknya citra superioritas kebudayaan Eropa. Dalam mengklasifikasikan sumber-sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi secara tegas menyebutkan bahwa ada sumber-sumber yang tidak terekspos ke permukaan. Sumber yang tak terekspos yang sebenarnya ikut menjadi sumber kesadaran Eropa (yakni yang juga ikut menebar benih pemikiran filsafat di dunia Barat) adalah sumber-sumber dari kebudayaan Timur lama (Persia, Mesir, Syria, Cina, dan sebagainya) dan dari lingkungan kebudayaan Eropa sendiri dengan corak-corak tertentu. Hal ini kemudian semakin menegaskan bahwa pertumbuhan kesadaran Barat sama sekali tak bisa terlepas dari kebudayaan Timur dan akar historis yang membentuk corak kesadaran Eropa sendiri. Dengan begitu, universalitas kebudayaan Barat digugat.

Buku ini jelas menarik dan berguna sekali untuk dibaca, terutama untuk menumbuhkan sikap kritis yang lebih konkret terhadap kebudayaan dan kesadaran Eropa (Barat) yang saat ini telah nyaris menggenangi seluruh kesadaran masyarakat dunia. Buku ini secara gamblang menegaskan bahwa superioritas kebudayaan Barat itu hanyalah mitos yang dibangun dengan penyembunyian informasi-informasi tertentu yang mengiringi pertumbuhannya. Apa yang diinginkan dari buku ini secara lebih jauh tidak lain adalah upaya untuk berbagi informasi secara lebih adil terhadap berbagai kebudayaan dunia, demi menghindari rasialisme kultural yang jelas-jelas tidak manusiawi.

Sebagai catatan akhir, patut diketahui, bahwa buku bagus yang diangkat dari karya Hassan Hanafi berjudul Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab ini sebenarnya belum seluruhnya tuntas penerjemahannya dalam buku ini. Terjemahan ini baru memuat dua bab dari delapan bab yang ditulis Hassan Hanafi, yang seluruhnya hampir berjumlah 900 halaman itu. Yang pasti, diskursus oksidentalisme ini menarik untuk ditanggapi, dengan ikut membaca dan mengkritisi pemikiran Hassan Hanafi, untuk kemudian dikembangkan dalam bentuk studi-studi kebudayaan kontemporer."

POLIGAMI ATAU MONOGAMI? by: Inayah Rohmaniyah, MA. M.Hum

POLIGAMI ATAU MONOGAMI?
Menggagas Penafsiran Asghar Ali Engineer Terhadap Surat An-Nisa;3
Oleh: Inayah Rohmaniyah, MA. M.Hum.

1. Pendahuluan
Semua agama termasuk Islam dan berbagai tradisi keagamaan memperbolehkan laki-laki memiliki beberapa isteri. Berbagai mitos dan legenda Hindu menceritakan tentang beratus-ratus isteri dari para Dewa seperti halnya Dewa Krishna. Tradisi kesukuan juga memperbolehkan poligami. Kaum perempuan sendiri menganggap institusi poligami sebagai sesuatu yang natural atau God Given tidak tidak ada perlawanan terhadap praktek tersebut.
Poligami mendapat pertentangan pada era modern, terutama pada abad keduapuluh. Revolusi industri telah membangkitkan kesadaran perempuan terhadap hak-hak mereka dan mendorong mereka menuntut kesetaraan status dengan laki-laki. Pada masyarakat feodal perempuan tidak memiliki peran produksi kecuali dalam bidang agricultural. Dengan munculnya revolusi industri perempuan dibutuhkan seiring dengan meningkatnya jumlah beragam pekerjaan di wilayah urban dan dengan demikian perempuan juga dituntut untuk memiliki peran lebih besar dalam proses produksi. Jika dalam masyarakat feodal perempuan-perempuan yang miskin bekerja di sektor rural dan urban, sementara perempuan dari kalangan atas pada umumnya memilih tinggal di rumah, maka dalam masyarakat industrial seluruh perempuan mulai bekerja termasuk perempuan-perempuan yang terdidik dari kalangan atas. Perempuan-perempuan dari kalangan terdidik dan dari kelas atas inilah yang memberikan ideologi dan menyuarakan gerakan perempuan. Kesadaran membimbing mereka untuk menolak peran subordinat dan status sebagai second sex .
Di dunia Islam Poligami menjadi salah satu persoalan yang kontroversial. Para ulama termasuk mufassir klasik pada umumnya mengakui poligami sebagai norma Islam yang secara tekstual mendapatkan legitimasi al-Qur’an. Sementara di sisi lain, dengan beragam argumentasi, mayoritas pemikir Islam modern berpendapat bahwa monogami merupakan tujuan ideal Islam dalam perkawinan.
Di Indonesia, perdebatan kontroversial di awal abad ke 21 khususnya berkaitan dengan persoalan perempuan ialah isu kepemimpinan perempuan dan poligami. Dari konteks sejarah, sebelum Undang-Undang Perkawinan menjadi Undang-Undang persoalan poligami telah marak dibicarakan, terlebih ketika rancangan undang-undang tentang perkawinan diusulkan menjadi undang-undang. Pada akhirnya monogami ditetapkan menjadi salah satu azas tetapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diizinkan seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Dewasa ini poligami kembali marak dibicarakan diawali dengan pernyataan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khafifah Indar Parawansa bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 10 Tahun 1983 Tentang izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, yang termasuk di dalamnya tentang poligami harus dihapuskan. Khofifah menganggap bahwa Peraturan Pemerintah yang melarang seorang pegawai negeri sipil melakukan poligami berlebihan karena meragukan laki-laki untuk mengontrol dirinya. Penghapusan PP 10 ditujukan untuk mengembalikan hak asasi laki-laki untuk berpoligami yang dianggap sesuai dengan ajaran Islam . Berbeda dengan menteri negara pemberdayaan perempuan, Ibu negara Sinta Nuriyah menyatakan bahwa PP tersebut harus dipertahankan untuk melindungi perempuan. Di pihak lain Suryakusuma, seorang sosiolog mencoba memberikan data penelitian yang menunjukkan bahwa PP 10 bahkan telah melembagakan opresi, menjadikan kemunafikan sebagai suatu norma dan manipulasi sebagai dasar kelangsungan hidup. PP 10 adalah alat kekuasaan negara Orde Baru yang sarat dengan inkonsistensi dan kontradiksi yang merugikan perempuan dan laki-laki. PP 10 menurut Suryakusuma berusaha mencegah perilaku yang sah (yaitu poligami) menurut UU perkawinan dan hukum Islam . Tujuan dirumuskannya PP dengan demikian tidak tercapai bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.
Perdebatan sekitar PP 10 utamanya poligami berakar dan melegitimasi interpretasi agama sebagai norma masyarakat yang diperkuat melalui intervensi negara atau pemerintah sebagai penentu kebijakan. Interpretasi yang sepihak tanpa memperhatikan hak asasi perempuan sebagai individu yang otonom menjadi embrio lahirnya berbagai ketidakadilan terhadap perempuan. Praktek poligami pada kenyataannya telah memunculkan berbagai ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan.
Persoalan yang krusial ialah apakah memang Islam secara normatif melegitimasi praktek poligami ?. Bagaimana dengan realitas empiris bahwa perempuan semakin menyadari kehidupan dan dunianya seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan mereka. Dalam wacana studi agama kontemporer, langkah-langkah metodologis Engineer merupakan tawaran ideal yang dapat memberikan alternatif jawaban terhadap persoalan dikhotomis antara norma agama di satu sisi dan historisitas di sisi yang lain. Tawaran metodologi sosio-teologis Engineer dalam menafsirkan persoalan poligami menjadi menarik untuk dipertimbangkan.

Biografi Singkat Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer lahir di Bohra tepatnya di Salumbar, Rajasthan dekat dengan Udaipur, India pada tanggal 10 Maret 1939. Dia dilahirkan di sebuah keluarga ortodoks yang taat beragama (keluarga Amil). Penduduk Bohra pada umumnya adalah muslim penganut Syi’ah Isma’iliyah. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki Amir al-Mukminin. Mereka mengakui 21 Imam dan Imam terakhir ialah Maulana Abu al-Qasim at-Tayyib yang menghilang pada tahun 526 H tetapi mereka percaya bahwa Imam tersebut masih hidup hingga sekarang . Kepemimpinan dilanjutkan oleh para Da’i yang selalu berhubungan dengan Imam terakhir itu.
Engineer dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius. Dia belajar bahasa Arab, Tafsir , Hadis dan Fiqih dari ayahnya . Sebagai seorang sarjana yang terpelajar dan berpikiran terbuka, Husain, ayahanda Engineer mendorong puteranya untuk belajar ilmu pegetahuan modern di sebuah sekolah di kota. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Bohra, sang ayah mendorong puteranya untuk mempelajari salah satu dari dua disiplin ilmu, yakni teknik atau medis dan Engineer memutuskan untuk mengambil bidang teknik sipil . Pada tahun 1956 Engineer resmi menjadi mahasiswa di Universitas Vikram India dan pada akhirnya meraih gelar sarjana teknik sipil (B.Sc.Eng.) pada tahun 1962.
Sebagai seorang Da’i dan aktifis yang memiliki tanggung jawab menghapuskan segala penindasan, Engineer melihat bahwa kaum perempuan di India menghadapi berbagai persoalan penindasan yang belum terpecahkan. Perempuan pada umumnya dan perempuan muslim khususnya menderita karena hak-hak mereka tidak di akui di masyarakat patriarkhi. Semakin banyak jumlah perempuan yang tidak berpendidikan, maka semakin kurang kesadaran mereka terhadap hak-haknya dan dengan demikian semakin menderita . Jumlah perempuan muslim India yang tidak berpendidikan semakin banyak sehingga kesadaran terhadap hak-hak mereka sangat kurang dan kondisi mereka menyedihkan.
Engineer meyakini bahwa semangat Islam pada dasarnya sangat menekankan kesetaraan dan memberikan hak yang sama antara kedua jenis kelamin. Namun demikian perempuan belum pernah menikmati persamaan hak-hak tersebut kecuali pada awal periode Islam. Berbagai hak-hak perempuan yang diberikan Al-Qur’an tidak diakui dengan berbagai asumsi (seperti akal perempuan kurang) yang dirumuskan berdasarkan sikap dan penafsiran laki-laki yang dominan.
Salah satu masalah yang sering dianggap bertentangan dengan konsep kesetaraan dan pemberian hak yang sama bagi seluruh manusia ialah masalah poligami. Perempuan dalam wacana poligami menjadi fihak yang secara material ataupun immaterial sering dirugikan. Perempuan juga lebih sering diposisikan sebagai obyek ketimbang sebagai subyek yang dapat menentukan sikapnya.

Penafsiran Engineer Tentang Poligami
Islam menurut Engineer telah berusaha mengantarkan manusia menuju masyarakat yang adil. Inti gagasan al-Qur’an adalah keadilan dan berusaha menjadikan keadilan sebagai jalan hidup atau a way of life. Konsep keadilan dibicarakan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik dan kekeluargaan. Berkaitan dengan keadilan ekonomi, al-Qur’an melarang seorang muslim mengurangi timbangan, mengakumulasikan kekayaan dan membelanjakan lebih dari kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Al-Qur’an bahkan diturunkan dalam konteks masyarakat yang sedang menghadapi krisis yang disebabkan akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil orang sehingga berimplikasi pada kebangkrutan sosial . Muhammad dipilih Tuhan sebagai liberator yang membawa misi membebaskan manusia dari kebodohan, penindasan, perbudakan, akumulasi kekayaan dan ketidakadilan. Dalam keadilan sosial al-Qur’an berulang-ulang menekankan pentingnya terbentuk masyarakat yang adil, masyarakat tanpa diskriminasi berdasarkan kasta, kelas, kepercayaan dan warna. Penekanan al-Qur’an berkaitan dengan Keadilan politik tampak dalam pernyataan perlunya kewarganegaraan yang setara.
Al-Qur’an secara konseptual juga memberikan hak yang sama bagi perempuan dalam keadilan kekeluargaan dan seksual, meskipun catatan sejarah tidak sejalan dengan semangat Islam. Norma-norma sosial, berbagai konvensi dan praktek-praktek dalam masyarakat seringkali bertentangan dengan Islam. Menurut Engineer berkaitan dengan semangat keadilan, al-Qur’an merupakan kitab suci pertama di dunia yang menyatakan secara tegas bahwa hak-hak isteri sama dengan hak-hak suami dengan cara yang adil meskipun laki-laki memiliki kelebihan dalam hal penghormatan . Semangat ideal al-Qur’an secara normatif telah memberikan status yang setara bagi laki-laki dan perempuan, meskipun al-Qur’an juga mengakui adanya superioritas laki-laki dalam konteks sosial tertentu. Namun demikian para teolog seringkali mengabaikan konteks tersebut dan menganggap laki-laki sebagai makhluk superior dalam pengertian yang absolut . Ayat-ayat al-Qur’an yang turun dalam suatu lingkup budaya yang sarat dengan ketimpangan dan ketidakadilan jender seringkali ditafsirkan secara tekstual tanpa mempertimbangkan pesan moral yang hendak ditegakkan yakni keadilan dan kesetaraan.
Sebagai seorang reformer sosial yang berusaha menyelesaikan persoalan-persoalan yang menghambat perubahan sosial, Muhammad harus memperhatikan seluruh manusia dari berbagai kelas, termasuk perempuan. Persoalan perempuan yang menjadi perhatian Nabi adalah persoalan perempuan secara umum dan bukan persoalan satu suku atau kelas tertentu. Meskipun kondisi perempuan Arab merupakan faktor penting, tetapi pernyataan-pernyataan al-Quran tidak dapat dilihat semata dari sudut pandang perempuan Arab pada masa Nabi, tetapi juga sudut pandang perempuan di seluruh tempat dan waktu . Seorang reformer yang berkedudukan sebagai Nabi Islam harus memperhatikan kategori universal disamping nilai-nilai dan problem kultural di masanya. Dengan demikian nilai-nilai atau aspek-aspek universal dari ajaran Al-Quran lebih mendapatkan penekanan tanpa mengesampingkan realitas historis kultural pada masa Nabi dan para sahabatnya mempraktekkan ajaran Al-Quran.
Penekanan terhadap keadilan ditegaskan dalam QS 2; 228 sebagai berikut:

Dan para perempuan memiliki hak yang sama dengan kewajibannya, dengan cara yang ma’ruf. Dan laki-laki mempunyai satu tingkat kelebihan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.

Berangkat dari struktur masyarakat arab yang sukuisme patriarki dan kondisi perempuan tidak mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki, Al-Quran menyatakan bahwa perempuan mempunyai hak-hak yang seimbang dengan kewajibannya, meskipun laki-laki mempunyai status lebih di atas perempuan. Al-Quran dalam hal ini memperhatikan masyarakat Arab yang didominasi laki-laki. Namun demikian sejauh berkaitan dengan aspek-aspek universal dari ajaran, Al-Quran tidak pernah membuat statemen yang bertentangan dengan semangat memberikan status setara kepada perempuan dalam masyarakat berikutnya . Semangat dan visi transendental Al-Quran tidak dapat diklaim sebagai nilai-nilai partikular satu periode tertentu saja. Status keagamaan perempuan sebagaimana status sosialnya, sama tinggi dengan laki-laki. Kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang mempunyai peran politik dan sosial lebih ketika ayat-ayat Al-Quran diturunkan. Kelebihan laki-laki atas perempuan bukan perbedaan hakiki melainkan perbedaan fungsional, oleh karenanya kelebihan-kelebihan tersebut bersifat relatif dan tidak absolut . Meskipun secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda, perbedaan biologis tidak berarti ketidaksetaraan dalam status jenis kelamin. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsi-fungsi sosial .
Engineer mengingatkan bahwa statemen-statemen yang berkaitan dengan kelebihan laki-laki harus dilihat dalam konteks sosial yang tepat. Struktur sosial pada masa Nabi Muhammad tidak benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan karena Al-Quran terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif maka statemen Al-Quran tidak dapat dilihat aspek teologisnya semata tetapi yang lebih penting adalah sosio-teologis. Bagi Engineer tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali.
Demikian, superioritas laki-laki atas perempuan dalam wacana teologi bukan persoalan yang final tetapi tergantung pada situasi yang berkembang. Berbagai kelebihan dan keunggulan sosial yang di peruntukkan kepada laki-laki seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (QS 2: 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (QS 4: 34), laki-laki mendapat warisaan lebih banyak (QS 4 : 11), diperbolehkan berpoligami bagi mereka yang memenuhi syarat (QS 4: 3), tidak menjadikan laki-laki sebagai hamba yang utama.
Persoalan institusi poligami yang secara tekstual tersebut dalam QS 4;3 terkait erat dengan persoalan keadilan dan tinjauan konteks historis dalam memahami ayat tersebut merupakan satu keniscayaan. Engineer meyakini bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat statemen yang bersifat normatif dan sekaligus juga bersifat kontekstual. Statemen normatif bersifat universal transendental dan yang kontekstual mungkin hanya dapat dipraktekkan dalam konteks tertentu. Dengan kata lain terdapat aspek-aspek agama yang bersifat universal, substansial, transendental dan aspek-aspek yang bersifat lokal, material, empirikal, dan partikular. Antara norma transendental dan realitas kontekstual yang empiris Selalu terjadi dialektika. Apa yang dikehendaki Tuhan dinyatakan dan bagaimana realitas empiris di dalam masyarakat juga disebutkan. Kitab suci menunjukkan tujuan dengan term “yang seharusnya” atau “semestinya” (should and aught), tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris dengan term is . Dengan prosedur demikian maka tuntunan kitab suci dapat diterima oleh masyarakat yang konkret dalam keadaan-keadaan yang konkret pula. Tuntutan tidak semata merupakan gagasan yang abstrak. Pada saat yang sama norma transendental juga ditunjukkan sehingga jika nanti kondisi konkretnya lebih kondusif bagi norma tersebut, norma ideal akan diterapkan atau setidaknya usaha maksimal untuk mendekati norma tersebut.
Persoalan penting dari masalah poligami menurut Engineer ialah sifat kontekstual dari pewahyuan ayat yang berkaitan dengan poligami . Pada masyarakat pra Islam poligami telah dipraktekkan secara meluas, bahkan tidak ada batasan jumlah isteri yang dapat dikawini oleh laki-laki. Seperti masyarakat yang lain pada umumnya demikian pula dengan masyarakat Arab, mereka tidak memiliki gagasan keadilan terhadap para isteri. Suami berhak memutuskan siapa yang paling dicintai dan siapa yang paling sedikit mendapatkan kesempatan, sementara para isteri harus menerima nasib tanpa dapat mempersoalkan proses keadilan. Kondisi religiusitas mereka juga buruk, setiap suku mempunyai berhala sendiri sehingga terdapat lebih dari 360 berhala di sekitar Ka’bah . Mereka tidak mempunyai konsep tentang kemanusiaan selain kesukuan. Keadaan kaum perempuan sangat menyedihkan. Mereka tidak mempunyai kekebebasan sosial ataupun ekonomi dan tidak dapat memainkan peran yang independen dalam bidang sosial, ekonomi apalagi politik. Mereka juga harus hidup dengan isteri-isteri yang lain pada saat yang bersamaan dan harus menghadapi berbagai beban lain seperti ketika anak-anak perempuan mereka dikubur hidup-hidup.
Al-Qur’an menurut Engineer tidak dapat menerima kenyataan seperti di atas. Dengan semangat dasar keadilan dan pemberdayaan perempuan (empowering women) Al-Qur’an melihat fakta bahwa dalam masyarakat yang tidak adil, perempuan selalu menjadi korban. Meskipun demikian, pemberdayaan perempuan dengan cara yang mutlak (dengan memberikan status yang sama dalam segala hal) bukan cara yang tepat dan proporsional dalam masyarakat yang male dominated culture tersebut. Al-Qur’an harus mengambil jalan tengah, yang bisa disebut dengan jalan ideologis pragmatis atau pragmatic-ideological course. Dengan cara demikian maka secara langsung ditunjukkan semangat kesetaraan dan pada saat yang sama juga memberikan solusi yang lebih dapat diterima oleh masyarakat yang didominasi laki-laki tersebut.
Di sisi lain, para mufassir sepakat bahwa ayat tentang poligami diturunkan setelah perang uhud yang mengakibatkan 70 dari 700 laki-laki terbunuh. Banyak perempuan muslim kemudian menjadi janda dan anak-anak perempuan menjadi yatim. Solusi terbaik pada kondisi dan konteks sosial yang male dominated dan ketergantungan perempuan terhadap laki-laki ialah memperbolehkan laki-laki muslim mengawini para janda dan anak-anak perempuan yatim. Pembatasan jumlah perempuan yang boleh dikawin (4) merupakan sebuah reformasi yang revolutif.
Statemen Al-Qur’an secara jelas menunjukkan bahwa poligami bukan solusi yang menyenangkan sepanjang dikaitkan dengan semangat sejati Al-Qur’an. Pernyataan Al-Qur’an memberi kejelasan bahwa dengan berat poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, dan kondisi keadilan yang setara bagi keempat isteri merupakan hal terpenting. QS 4; 3 secara tekstual menjelaskan sebagai berikut ;

Engineer menterjemahkan ayat di atas sebagai berikut;

And if you have reason to fear that you might not act equitably towards orphans, then marry from among (other) women such as are lawful unto you-(even) two, or three, or four: but if you have reason to fear that you might not able to threat them with equal fairness, then (only) one-or (from among) those whom you rightfully possess. This will make it more likely that you do not do injustice.

(Dan jika engkau punya alasan untuk takut tidak akan berbuat adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika engkau punya alasan untuk takut tidak dapat memperlakukan mereka dengan keadilan merata, maka seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Hal ini lebih memungkinkan engkau untuk tidak berbuat tidak adil (QS 4; 3).

Ayat di atas secara tegas dengan berat menerima institusi poligami. Karena Al-Qur’an tidak menghendaki jauh atau keluar dari situasi masyarakat pada umumnya ketika ayat diturunkan, maka diperbolehkan laki-laki menikahi empat perempuan dengan mensyaratkan laki-laki memperlakukan isteri mereka secara benar-benar adil. Jika mereka tidak dapat memenuhi kondisi terpenting yakni keadilan ini maka satu saja atau mengawini para budak. Dengan demikian tujuan Al-Qur’an sebenarnya adalah monogami.
Ayat tentang poligami menurut Engineer tidak berdiri sendiri dan tidak dapat dipahami terlepas dari ayat-ayat lain yang berkaitan dan memberi ilustrasi konteksnya. Pendekatan sosio teologis merupakan keniscayaan untuk dapat memahami sisi kontekstual dan normatif dari ayat tersebut .
Statemen dalam QS 4;3 memperbolehkan kawin lebih dari seorang isteri tetapi harus dipahami sejalan dengan ayat sebelumnya. Ayat pertama dalam surat yang sama (QS 4;1) berbicara tentang konsep penciptaan laki-laki dan perempuan dari asal usul yang sama dan mengandaikan kesetaraan kedua jenis kelamin.


Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari “nafs” yang satu. Dan darinya diciptakan pasangannya dan dari keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan yang banyak.

Bagi Engineer ayat di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan telah diciptakan dari satu nafs (makhluk hidup), oleh karena itu tidak ada yang lebih unggul dari yang lain . Al-Qur’an tidak menyetujui pandangan bahwa hawa (Eve) dilahirkan dari tulang rusuk Adam yang bengkok dan karena itu memiliki status yang lebih rendah. Perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dan bahkan dalam hal tertentu memiliki hak lebih seperti statemen Muhammad bahwa separoh dari pengetahuan wahyu harus diperoleh dari Aisyah dan separoh dari semua sahabat-sahabat Muhammad. Sebagai seorang perempuan status Aisyah disejajarkan dengan ribuan sahabat Muhammad. Pengakuan Muhammad terhadap kapasitas intelektual Aisyah sebagai individu merupakan realisasi konkrit dari nilai-nilai transendental persamaam manusia .
Ayat berikutnya (QS 4;2) mendesak kaum muslim agar memberikan harta warisan anak yatim dan tidak mengganggunya demi kepentingan sang wali. Pada ayat ini pemeliharaan anak yatim diperintahkan secara khusus:


Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan engkau tukar yang baik dengan yang buruk dan jangan engkau makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan tersebut adalah dosa yang besar.


Ayat ketiga seperti tersebut di atas juga dimulai dengan statemen “dan jika engkau khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim”. Demikianlah, ayat-ayat turun pada konteks kultural ketika para laki-laki memiliki banyak isteri tanpa memperhatikan persoalan keadilan dan mereka yang bertugas memelihara harta anak yatim sering bertindak tidak adil dan mengawini mereka dengan tanpa membayar mas kawin. Aisyah memahami ayat ini bahwa jika mereka khawatir tidak akan mampu berbuat adil apabila mengawini anak –anak yatim, maka sebaiknya mengawini perempuan lain .
Engineer mengutip pendapat maulana Muhammad Ali yang mengatakan bahwa jika laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim mereka dapat mengawini para janda agar anak-anak menjadi anak mereka juga . Jumlah perempuan pada masa itu juga lebih banyak dari laki-laki oleh karena itu mereka diperbolehkan mengawini hingga empat janda perempuan atau gadis yatim.
Pesan universal dari statemen sekitar poligami adalah menegakkan keadilan terhadap harta anak-anak perempuan yatim. Poligami sebagai sarana kontekstual merealisasikan keadilan dianjurkan dengan mengawini janda dan anak-anak yatim. Terdapat penegasan terhadap pesan universal keadilan pada QS 4; 129 dan lebih berarti menentang poligami :

And it will not be within your power to treat your wives with equal farness, however much you may desire it, and so, do not allow your selves to incline towards one to the exclusion of the other, leaving her in a state, as it were, of having and not having a husband.

Dan engkau tidak akan pernah mampu berbuat secara adil terhadap isteri-isterimu meskipun engkau sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah engkau terlalu cenderung (kepada yang engkau cintai), sehingga engkau biarkan yang lain terkatung-katung antara memiliki dan tidak memiliki suami.

Demikianlah, Al-Qur’an memberikan satu kategori bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan untuk dapat memperlakukan lebih dari satu isteri secara adil. Dengan alasan inilah Al-Qur’an memberikan nasehat praktis “janganlah kau terlalu cenderung kepada satu isteri dan meninggalkan yang lain terkatung-katung seperti tidak memiliki suami.
Engineer menutip pendapat al-Tabari bahwa laki-laki tidak mungkin dapat memperlakukan para isteri mereka secara adil dalam hal cinta dan seksual. Demikian pula dengan ar-Razi, menurutnya perlakuan yang adil terhadap para isteri merupakan hal yang tidak mungkin dan oleh karenanya seseorang tidak dibebani dengan sesuatu yang di luar kemampuannya. Dengan demikian bagi ar-Razi laki-laki tidak dibebani agar memperlakukan secara adil terhadap para isteri mereka dalam hal cinta dan seksual.
Demikian, para mufassir klasik telah memperdebatkan arti dari “memperlakukan secara adil” terhadap seluruh isteri dan apakah hal tersebut mungkin. Tidak ada satu penafsirpun dapat mengabaikan pembicaraan tentang implikasi berbagai ayat yang sangat menekankan keadilan perlakuan terhadap para isteri. Kebolehan mengawini lebih dari satu isteri bukan tidak dengan syarat yang ketat berkaitan dengan keadilan. Al-Qur’an tidak pernah memberikan izin secara umum bagi setiap orang untuk mengawini empat isteri. Perkawinan dengan lebih dari satu isteri diperbolehkan dalam keadaan keadilan dalam tiga tingkatan yaitu, pertama memastikan penggunaan yang tepat terhadap harta anak yatim dan para janda, kedua menjamin keadilan untuk seluruh isteri dalam hal materi dan pembagian cinta dan ketiga menjamin kasih sayang yang adil bagi seluruh isteri. Gagasan keadilan terhadap para isteri dan utamanya anak yatim sangat ditekankan dan menjadi inti dalam konsep poligami di dalam Islam.
Di Indonesia, sistem negara secara normatif telah mengakui persamaan hak antara laki-laki dan perempuan termasuk hak untuk menikmati pendidikan tinggi. Kesadaran individualitas dan independensi perempuan termasuk kesadaran akan kapasitas intelektual sebagai salah satu implikasi dari peningkatan pendidikan (the rise of education) merupakan kondisi yang harus dipertimbangkan. Kontekstualisasi nilai-nilai keadilan semestinya dirumuskan kembali dalam bentuk yang lebih toleran terhadap individualitas dan otonomi perempuan. Negara sebagai institusi yang berwenang dituntut untuk dapat merumuskan kembali apakah masih terdapat persyaratan sosial yang mengandaikan pemberlakuan poligami sebagai satu sarana kontekstual mewujudkan keadilan bagi semua.
Pendirian lembaga yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan kekayaan anak-anak yatim tampaknya bisa menjadi salah satu alternatif solusi yang lebih mewujudkan keadilan dalam dunia kekinian. PP 10 sebaiknya memang dihapuskan tetapi diganti dengan peraturan yang lebih tegas dengan persyaratan yang ketat dan pemberlakuan untuk semua muslim, tidak diskriminatif terbatas untuk pegawai negeri sipil.

IV. Kesimpulan
Pembolehan mengawini lebih dari seorang perempuan bersifat terbatas dan harus dilihat secara ketat dalam konteks keadaan-keadaan yang berlaku. Apabila terdapat situasi yang memaksa seorang laki-laki mengawini lebih dari satu perempuan maka hal terpenting pertama yang harus ditekankan adalah keadilan, keseimbangan perlakuan yang benar-benar adil terhadap para isteri dan terhadap para anak yatim. Jika keadilan tidak dapat dilaksanakan maka Al-Qur’an menuntut laki-laki untuk tidak mengawini lebih dari satu orang isteri. Dengan kata lain poligami adalah sesuatu yang bersifat kontekstual sementara monogami adalah sesuatu yang bersifat normatif.




DAFTAR PUSTAKA
Enginner, Asghar Ali , 1987, Status of Women in Islam, Anjanta Publications, New Delhi.

_______________, 1990, Islam And Liberation Theology Essays on Liberative Elements in Islam, Sterling Publishers Pvt. Ltd., New Delhi.

_________________, 1992, The Rights of Women in Islam, St. Martin’s Press, New York.

_______________, 1999, The Qur’an, Women and Modern Society, Sterling Publisher Private Limited, New Delhi, India.

__________________, 1999, What I Believe (dalam Islam and Modern Age), Vol. 2 No. 7 Juli, Institute of Islamic Studies, Mumbai, India.

__________________, 2000, Women’s Rights and Personal Law Board (Secular Perspective), October 16-31, Center for Study of Society and Secularisn, Mumbay, India. csss@vsnl.com .

________________, 1987, Islam and Its Relevance to Our Age, Ikraq, Kuala Lumpur.

Parawansa Khofifah Indar, PP 10 Harusnya Tidak Perlu Ada , Harian Kompas, 4 September, 2000.

Suryakusuma, PP 10: Senjata Pamungkas atau Alat Kekuasaan?, Harian Kompas, 4 September, 2000.

Rahman, Fazlur, 1980, Tema Pokok Al-Qur’an (Terj, Anas Mahyuddin), Pustaka Pelajar, Jakarta.

Zakat Maal

Pendahuluan
By: Yuldi Hendri
Zakat maal, atau zakat harta benda telah difardhukan Allah sejak permulaan Islam sebelum Nabi berhijrah ke kota Madinah. Tidak mengherankan, permasalahan ini sangat cepat diperhatikan Islam, karena urusan tolong-menolong adalah urusan yang sangat dibutuhkan dalam pergaulan kehidupan sosial, sangat diperlukan dan dikehendaki oleh segala lapisan masyarakat.
Hanya pada mula-mulanya zakat difardhukan tanpa ditentukan kadarnya dan tanpa pula diterangkan dengan jelas harta-harta yang diberikan zakatnya. Syara’ hanya menyuruh mengeluarkan zakat. Banyak sedikitnya diserahkan kepada kemauan dan keridhaan penzakat sendiri. Demikian keadaan itu berjalan hingga tahun kedua hijrah. Mereka yang menerimanya pun pada masa itu, hanya dua golongan saja, yaitu: Faqir dan miskin.
Pada tahun yang kedua dari Hijrah bersamaan dengan tahun 623 Masehi, barulah syara’ menentukan harta-harta yang yang dizakatkan, serta kadarnya ma sing-masing.
Dinamai harta yang dikeluarkan untuk zakat itu dengan “zakat”, adalah karena zakat itu mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa, dan karena zakat itu menyuburkan harta atau memperbanyak pahala yang akan diperoleh mereka yang mengeluarkannya. Dan lantaran zakat itu menunjukkan pada kebenaran iman, dinamailah dia dengan “shadaqah”, yang membuktikan kebenaran kepercayaan, kebenaran ketundukan dan kepatuhan, serta keta’atan mengikuti segala perintah. Zakat juga mensucikan pekerti masyarakat dari dengki dan dendam.
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah: 103).
Zakat Maal
Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah emas dan perak, tanaman, buah-buahan, binatang ternak dan harta karun.
1. Zakat Emas dan Perak
Nisab emas sebanyak 20 dinar, sedangkangkan perak 200 dirham, zakat keduanya sebanyak seperempat puluh, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah, beliau bersabda:

عن علي عن النبي صلى الله عليه وسلم ببعض أول هذا الحديث قال فإذا كانت لك مائتا درهم وحال عليها الحول ففيها خمسة دراهم وليس عليك شيء يعني في الذهب حتى يكون لك عشرون دينارا فإذا كان لك عشرون دينارا وحال عليها الحول ففيها نصف دينار
Artinya:” Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya sebanyak lima dirham . Tidak wajib atasmu zakat (emas) kecuali engkau memiliki 20 dinar, jika engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya setengah dinar .”
Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan:
عن علي, قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: قد عفوت عن صدقة الخيل و الرقيق فهاتوا صدقة الرقة من كل اربعين درهما درهم. و ليس لي في تسعين و مائة شئ فاذ بلغت مائتين ففهيما خمسة دراهم
Artinya:” Dari Ali, Rasulullah bersabda:” Saya telah memaafkan tentang zakat kuda dan budak, maka berikanlah zakat uang dari setiap 40 dirham (zakatnya) satu dirham. Dan tidak ada sesuatu kewajiban zakat bagiku dalam 190 (dirham), apabila mencapai 200 dirham maka zakatnya lima dirham ”.

2. Zakat Perhiasan
Zakat perhiasan hukumnya wajib, berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang menunjukkan kewajiban zakat. Di samping itu juga ada beberapa dalil-dalil khusus yang menunjukkan akan kewajiban zakat perhiasan , diantaranya:
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata, “Aku mengenakan perhiasan dari perak, lalu aku bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, apakah ini termasuk harta simpanan?.” Beliau menjawab:”
ما بلغ أن تؤدى زكاته فزكي فليس بكنز
Artinya:” Harta yang sudah sampai batas untuk dikeluarkan zakatnya, lalu dikeluarkan zakatnya, maka bukan lagi termasuk harta simpanan .”
Riwayat ‘Aisyah juga menyebutkan:” Pada suatu hari Rasulullah mendatangiku dan beliau melihat di tanganku ada cincin tak bermata yang terbuat dari perak, kemudian beliau berkata:’ Apa ini, wahai ‘Aisyah? Aku menjawab:” Aku sengaja membuatnya agar aku bisa berhias untukmu wahai Rasulullah. Beliau bertanya,” Apakah engkau tunaikan zakatnya? Aku menjawab” Tidak atau masya Allah. Lalu beliau berkata:’ Hal ini cukup untuk memasukkanmu ke dalam neraka ”.
Bunyi riwayatnya adalah:
عن عبد الله بن شداد بن الهاد أنه قال دخلنا على عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم فقالت دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم فرأى في يدي فتخات من ورق فقال ما هذا يا عائشة فقلت صنعتهن أتزين لك يا رسول الله قال أتؤدين زكاتهن قلت لا أو ما شاء الله قال هو حسبك من النار

3. Zakat Tanaman, Buah-buahan dan Biji-bijian.
Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Jenis-jenis Tanaman dan Buah-buahan yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya:
Tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali dari empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’az,” Bahwasanya Rasulullah mengutus mereka berdua ke Yaman untuk mengajarkan penduduk Yaman ilmu agama, dan beliau memerintahkan mereka berdua agar jangan mengambil zakat kecuali dari empat jenis tanaman, yaitu hinthah (gandum), sya’ir, kurma dan anggur kering .”
الزكاة في هذه الأربعة : الحنطة والشعير والزبيب والتمر
Nisabnya:
Syarat wajib zakat tanaman dan buah-buahan adalah jika telah sampai nishabnya, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits berikut.
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah bersabda:”
ليس فيما دون خمسة ذود من الابل صدقة و ليس فيما دون خمس أواق صدقة وليس فيما دون خمس أوسق صدقة
Artinya:” Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima ekor, juga pada perak yang kurang dari lima awaaq, dan tidak pula pada kurma yang kurang dari lima ausuq.
Ukuran yang wajib dikeluarkan:
Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah, beliau bersabda:
فيما سقت الأنهار والغيم العشور وفيما سقى بالسانية نصف العشر
Artinya:” Pada (perkebunan) yang disirami dari sungai dan hujan ada kewajiban zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan alat seperduapuluh .”
Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah telah bersabda:
فيما سقت السماء و العيون او كان عثريا العشر و فيما سقي بالنضح نصف العشر
Artinya:’ Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh , dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh .”
4. Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak yang wajib dizakati ada tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan kambing.
a. Zakat Unta
Nishabnya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda:
ليس فيما دون خمسة ذود من الابل صدقة
Artinya:” Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima ekor.”
Jumlah Zakat yang Wajib Dikeluarkan:
Dari Anas, bahwasanya Abu Bakar menulis surat untuknya yaitu ketika dia diutus ke Bahrain, diantara isinya:” Bismillahir Rahmanir Rahim. Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah atas kaum Muslimin dan ini pula yang diperintahkan Allah atas Rasul-Nya, maka maka barangsiapa dari kaum Muslimin yang diminta untuk mengeluarkannya dengan cara yang benar, maka hendaklah mereka mengeluarkannya. Dan barangsiapa yang diminta lebih dari apa yang telah diwajibkan, maka janganlah dia menyerahkannya, yaitu setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya berupa bintu makhad . Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya berupa bintu labun. Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya berupa hiqqah tharuqatul jamal. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya berupa jaza’ah. Jika mencapai 76 hingga 90 ekor unta, maka zakatnya dua ekor bintu labun. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, zakatnya dua ekor hiqqah tharuqatul jamal. Jika telah melebihi 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tiga tahun. Dan setiap 50 ekor, zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Dan bagi mereka yang tidak memiliki unta kecuali empat ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menghendakinya, jika telah mencapai 5 ekor unta, maka wajib mengeluarkan zakat berupa seekor kambing.”
Bunyi riwayatnya:
حدثنا محمد بن عبد الله بن المثنى الأنصاري قال حدثني أبي قال حدثني ثمامة بن عبد الله بن أنس أن أنسا حدثه
: أن أبا بكر رضي الله عنه كتب له هذا الكتاب لما وجهه إلى البحرين
بسم الله الرحمن الرحيم
هذه فريضة الصدقة التي فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم على المسلمين والتي أمر الله بها رسوله فمن سألها من المسلمين على وجهها فليعطها ومن سئل فوقها فلا يعط
)في أربع وعشرين من الإبل فما دونها من الغنم من كل خمس شاة فإذا بلغت خمسا وعشرين إلى خمس وثلاثين ففيها بنت مخاض أنثى فإذا بلغت ستا وثلاثين إلى خمس وأربعين ففيها بنت لبون أنثى فإذا بلغت ستا وأربعين إلى ستين ففيها حقة طروقة الجمل فإذا بلغت واحد وستين إلى خمس وسبعين ففيها جذعة فإذا بلغت - يعني - ستا و سبعين إلى تسعين ففيها بنتا لبون فإذا بلغت إحدى وتسعين إلى عشرين ومائة ففيها حقتان طروقتا الجمل فإذا زادت على عشرين ومائة ففي كل أربعين بنت لبون وفي كل خمسين حقة ومن لم يكن معه إلا أربع من الإبل فليس فيها صدقة إلا أن يشاء ربها فإذا بلغت خمسا من الإبل ففيها شاة
وفي صدقة الغنم في سائمتها إذا كانت أربعين إلى عشرين ومائة شاة فإذا زادت على عشرين ومائة إلى مائتين شاتان فإذا زادت على مائتين إلى ثلاثمائة ففيها ثلاث شياه فإذا زادت على ثلاثمائة ففي كل مائة شاة فإذا كانت سائمة الرجل ناقصة من أربعين شاة واحدة فليس فيها صدقة إلا أن يشاء ربها
وفي الرقة ربع العشر فإن لم تكن إلا تسعين ومائة فليس فيها شيء إلا أن يشاء ربها
(
b. Zakat Sapi
Nishab dan ukuran (jumlah) yang wajib dikeluarkan
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata:” Rasulullah telah mengutusku ke Yaman dan Beliau memerintahkanku agar mengambil zakat dari setiap 40 ekor sapi, seekor sapi betina berumur dua tahun lebih(musinnah), dan dari setiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih (tabi’) yang jantan atau yang betina.”

عن معاذ أن النبي صلى الله عليه وسلم لما وجهه إلى اليمن أمره أن يأخذ من البقر من كل ثلاثين تبيعا أو تبيعة ومن كل أربعين مسنة

c. Zakat Kambing
Nishab dan jumlah yang wajib dikeluarkan
Dari Anas bahwasanya Abu Bakar telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, diantara isinya,” Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing maka setiap seratus ekor zakatnya satu ekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri tersebut kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan hal itu.”
Syarat-Syarat Wajibnya Zakat Hewan
1. Telah sampai nishabnya.
2. Telah berlalu haul (satu tahun), berdasarkan sabda Rasulullah:
لا زكاة في مال حتي يحول علية الحول
Artinya:” Tidak wajib zakat pada harta yang belum sampai haulnya (satu tahun).”
3. Hendaklah hewan ternak tersebut selama setahun lebih sering digembalakan dengan cara mencari rumput sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah, “ Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 ekor hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing…”
Dan juga sabdanya:”
في كل ابل سائمة في كل اربعة ابنة لبون
Artinya:” Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tiga tahun”.

5. Zakat Harta Karun
Ar-Rikaz adalah harta yang terpendam sejak zaman jahiliyah yang kemudian dikeluarkan tanpa membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak.
Diwajibkan untuk segera mengeluarkan zakatnya tanpa ada syarat harus sampai nishab dan haul. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah:
وفي الركاز الخمس
Artinya:” Zakat Rikaz adalah seperlima”.

6. Zakat Barang Temuan
Rasulullah bersabda:
عن ابي هريرة عن رسول الله صلي الله عليه و سلم: العجماء جرحها جبار, و المعدن جبار, و البئر جبار, و في الركاز الخمس
Artinya:” Melukai binatang itu bebas dari qishas, orang yang menggali tambang itu bebas, dan barang temuan itu zakatnya adalah seperlima.
7. Zakat Barang Dagangan
Dalil yang mewajibkan mengeluarkan zakat dagangan adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat: 267:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Mujahid mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan untuk menjelaskan zakat barang dagangan . Kewajiban zakat dagangan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, sebagai berikut:
قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: في الابل صدقتها و في البقر صدقتها و في البز صدقتها
Artinya: “Dalam unta ada zakatnya, dalam sapi ada zakatnya, “al-bizzu” (ialah sesuatu yang dijual oleh pedagang-pedagang) ada zakatnya.